Di Balik Kritik ‘Wartawan Bodrek’ Ada Pesan Penting untuk Profesionalisme Pers

2025-08-12 16:29:36
Ilustrasi. (Net)

PONTIANAK, insidepotianak.com – Pernyataan Gubernur Kalbar, Ria Norsan menyentil fenomena ‘wartawan bodrek’ yang kerap menyudukan lewat pemberitaan, memicu diskusi hangat.

Namun, di balik kontroversi itu, terselip pesan penting: jurnalis harus bekerja profesional, memegang etika, dan menyajikan berita yang berimbang.

Istilah ‘wartawan bodrek’ disampaikan Ria Norsan menyinggung prilaku oknum wartawan yang menulis berita tak berimbang, saat membuka diskusi yang digelar IJTI Kalbar di Pendopo Gubernur, Sabtu (9/8/2029).

Di forum itu, Norsan pun mengaku kerap menjadi sasaran pemberitaan online tanpa konfirmasi, dan yang akhirnya terkesan menyudutkan.

Kritik Gubernur soal fenomena ‘wartawan bodrek’ itu belakangan menjadi liar. Ada pihak yang mempermasalahkan. Karena pernyataan tersebut dianggap mendeskriditkan.

Kepala Biro Adpim Setda Provinsi Kalbar, Jimmi Imanuddin pun meluruskan maksud pernyataan Gubernur.

Menurutnya, kritik Gubernur terhadap fenomena ‘wartawan bodrek’ sebenarnya hanya ingin mendorong agar wartawan menjaga integritas.

Hanya saja, pesan itu, kata Jimmi, terpotong saat dikutip, sehingga memunculkan tafsir yang keliru dan menjadi salah persepsi.

“Gubernur hanya mengingatkan, kalau jadi wartawan, jadilah wartawan yang benar. Jangan memberitakan tanpa konfirmasi atau menyudutkan pihak tertentu,” kata Jimmi.

Ia berharap diskusi yang berkembang bisa menjadi momentum untuk memperkuat profesionalisme jurnalis di Kalbar.

Jadikan Bahan Evaluasi

Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Kalbar, Muhlis Suhaeri, melihat kritik semacam ini seharusnya menjadi bahan evaluasi.

Artinya, setiap jurnalis wajib memahami Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan kode etik jurnalistik, karena dari situlah aturan kerja pers dirumuskan.

“Kalau aturan itu tidak dipahami, bisa terjadi salah persepsi atau misinformasi. Jurnalis juga harus siap menghadapi isu dan tantangan yang terus berubah, sehingga kapasitas diri wajib terus ditingkatkan,” jelas Muhlis.

Ia menambahkan, perusahaan media pun punya tanggung jawab memberikan pelatihan berjenjang agar kualitas berita terjaga. Sehingga jurnalis dapat membuat berita yang baik, adil, proporsional dan komprehensif.

Muhlis juga menegaskan, media massa harus dihidupkan melalui iklim bisnis yang berkelanjutan.

Sebab, ketika perusahaan media sehat dan dapat menggaji jurnalisnya dengan layak, maka para jurnalis tidak akan berfikir macam-macam, ketika menjalankan profesinya.

"Ini yang juga menjadi konsen AMSI. Jurnalis harus bekerja secara professional. Membuat berita yang baik, berimbang dan berkeadilan," tuturnya.

Sekretaris AJI Kota Pontianak, Hamdan Darsani, menegaskan bahwa kode etik jurnalistik adalah pedoman utama yang menjaga independensi pers.

Sementara Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Kalbar, Dina Prihatini Wardoyo, mengajak agar kritik dimaknai sebagai masukan konstruktif.

“Kritik itu untuk perbaikan, supaya jurnalis memahami aturan liputan dan menulis berita yang berimbang sesuai kode etik,” kata Dina.

Terlepas dari kontroversinya, istilah ‘wartawan bodrek” menyiratkan pesan yang relevan: pers yang profesional lahir dari etika yang dijaga, kemampuan yang diasah, dan komitmen pada kebenaran. Dengan itu, jurnalis akan tetap menjadi penjaga informasi yang dipercaya publik.***

Leave a comment